Senin, 13 Juni 2011

sebuah lorong di kotaku dalam sebuah resensi feminisme

Nh. Dini, tak sekedar biografi.
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang biasa kita kenal dengan nama Nh. Dini adalah salah satu pengarang wanita indonesia. Ia dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 29 Februari 1936. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan. Baginya hidup adalah menyelesaikan tugas-tugas hidup dan menuliskannya.
Membaca buku-buku Nh Dini adalah membaca sebuah kehidupan dari masa ke masa. Karena hampir sepanjang hidup ia menulis dan mencatat peristiwa-peristiwa penting di dalam hidupnya dalam beberapa buku. Tokoh-tokoh dalam bukunya lebih banyak bertipe the girl next door. Begitu dekat dengan kita, begitu nyata, tidak muluk-muluk. Sebagai penulis ia telah melakukan tugas dengan baik, konsisten, tidak bolong-bolong, tidak banyak bicara. Serta ia memiliki daya tahan yang sangat mengagumkan atas karya-karya yang dibuatnya. Ia juga telah menemukan estetikanya sendiri dalam menulis.
Nama Nh Dini adalah satu dari sedikit pengarang perempuan yang penting di negeri ini. Karya-karyanya dianggap sangat reprensentatif bagi banyak persoalan wanita yang dikekang oleh tradisi kebudayaan lelaki. Maka dari itu, ia mendapat julukan sebagai pengarang feminis. Julukan itu didapatkan karena karya-karya yang dituliskan dini membahas masalah tentang perempuan. Dan juga karena, dihampir setiap karya yang di ceritakan, ia berperan sebagai tokoh utama. Di dalam karya-karyanya dini memilih kalimat-kalimat yag sederhana untuk menggambarkan satu peristiwa.

Sebuah lorong di kotaku: sebagai gambaran umum.
Pada saat pertama kali membaca novel sebuah lorong di kotaku, hal yang pertama kali terlontar dari pemikiran saya adalah pendeskripsian terhadap peristiwa-peristiwa yang di gunakan pengarang dalam novel tersebut sangat detail sekali. Dia menuliskan hingga hal-hal terkecil yang ada di dalam karya tersebut. Setelah membaca deskripsi-deskripsi yang sangat detil. Lalu pemikiran lainpun muncul, kenapa pendeskripsian yang dilakukan pengarang sangat teliti dan detil sekali, menurut saya faktor pertama adalah karena pengarang tersebut adalah seorang perempuan, dia adalah Nurhayati Srihardini. Satu faktor inipun menurut saya sudah bisa mewakilkan faktor-faktor lainya. Karena wanita selalu di anggap teliti dan detil dalam melakukan segala hal. Faktor pendukung lain yang menjadi alasan adalah, karena pengarang ingin memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca. Sehingga orang yang membaca karyanya dapat mengetahui kondisi si pengarang pada saat itu. Dan kalau ingin dilihat faktor lain secara mendalam lagi, bahwa pada masa itu perempuan diwajibkan untuk bisa menjadi sosok yang ayu, yaitu salah satunya memiliki sifat tekun dan telaten, sehingga sifat tersebut terbawa ke dalam penulisan novel dengan pendeskripsian yang maksimal.
Setelah membahas masalah kalimat, hal yang terpikirkan selanjutnya adalah masalah budaya yang berada di dalam novel tersebut. Masalah inipun bisa dijadikan setting pada novel ini. Di dalam novel tersebut unsur budayanya sangat kental sekali. Budaya yang ditampilkan di dalam novel ini adalah budaya jawa di zaman penjajahan Belanda. Dan mereka memiliki budaya jawa yang sangat sopan dan halus. Pada novel ini terlihat bahwa, tokoh-tokoh yang ada termasuk kedalam golongan yang disegani oleh masyarakat pada zaman itu. Dan tampak jelas, bahwa setting atau latar umum pada novel ini berada di daerah jawa.
Berbicara tentang tokoh, pengarang di dalam novel ini menjadi tokoh utama cerita. Karena cerita ini mengenai kehidupannya di masa kecil. Dan tokoh-tokoh lainya yaitu sesuai dengan anggota keluarga yang dimiliki si pengarang. Di novel ini terdapat sosok ayah yang sangat bijaksana dan sayang kepada anak-anaknya. Setelah itu ada sosok ibu, sosok ibu disini digambarkan sebagai sosok yang sangat perhatian dan sayang sekali kepada keluarganya. Setelah tokoh ayah dan ibu, lalu dikuti oleh dua kakak laki-lakinya, yaitu nugroho dan teguh. Seperti halnya anak laki-laki, kedua sosok kakak ini tidak terlalu berpengaruh dalam tokoh utama, karena kakak laki-laki terlalu cuek akan adik perempuannya. Kalau ada sosok kakak laki-laki, berarti ada sosok kakak perempuan. Disosok kakak perempuanlah yang sangat berpengaruh terhadap tokoh utama. Karena tokoh utama lebih sering bermain dengan mereka, karena kesamaan gender. Sosk kakak perempuan yaitu, heratih dan maryam. Heratih adalah kakak tertua dan sangat mengayomi adiknya. Lalu ada maryam, dia adalah sosok kakak perempuan yang sangat pemberani. Pada cerita ini, tokoh yang menurut saya memiliki peranan dan pengaruh sangat penting adalah sosok dari para perempuan yang berada di novel ini. Karena pada setiap tindakan yang dilakukan oleh pria dinovel ini, selalu diikuti oleh tindakan wanita yang lebih dominan.
Setiap novel pastilah memiliki alur atau jalan cerita. Untuk mempersingkat kata novel ini memiliki alur maju, alur maju di ketahui dari rentetan peristiwa yang dialami para tokoh. Rentetan peristiwa yang dialami, selalu bergerak maju kedepan. Mulai dari menangkap ikan di kali, rencana liburan di rumah kakek, dan masuk sekolah untuk pertama kali.

Feminisme di dalam Sebuah lorong di kotaku.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menentukan unsur feminis di dalam novel ini. Secara umumpun dapat terlihat dengan jelas, hal yang terlihat jelas adalah tokoh utama di dalam novel ini adalah perempuan. Dengan begitu unsur feminis dapat langsung terlihat. Tetapi kalau ingin dilihat secara lebih mendalam lagi tentang feminis di dalam novel ini. kita harus membongkar satu-satu cerita ataupun tokoh-tokoh yang ada.
Novel ini dibuat dengan isi cerita yang berlatarkan pada zaman penjajahan belanda menuju ke zaman penjajahan jepang. Dari hal ini pun jelas, pengarang ingin menampilkan pandangan tentang kondisi di zaman itu, dilihat dari kacamata perempuan. Karena kebanyakan cerita yang ada tentang masa itu, dilihat dengan kacamata masyarakat secara umum ataupun kacamata laki-laki. Pada novel inipun, sebenarnya kita sudah diuntungkan dengan pengarang yang memiliki gender perempuan. Karena dengan sengaja maupun tidak sengaja dia akan menampilkan sisi feminis yang ada. Dan juga seharusnya lebih diuntungkan lagi, karena Nurhayati Srihardini ini deberi julukan “pengarang feminis”, sehingga secara tidak langsung kita telah membaca novel yang memiliki unsur feminis.
Kembali kepada masalah latar mengenai penjajahan di atas. Pada novel ini kita akan menemukan unsur-unsur feminis yang ada. Pada novel ini, kita tidak disuguhkan dengan cerita mengenai bagaimana proses peperangan itu berlangsung. Tetapi lebih kepada proses pengungsian para wanita dan anak-anak. Pada saat itu, kita akan menemukan sosok perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan laki-laki. Pada saat itu, mereka harus berjuang menyelamatkan diri dari para penjajah. Kebanyakan cerita yang beredar tentang zaman penjajahan, wanita dianggap sebagai kaum yang lemah, mereka tidak memperlihatkan perjuangan perempuan dalam menyelamatkan anak-anaknya. Selama ini kita hanya melihat sosok laki-laki yang gagah perkasa melawan para penjajah.
Selain dari latar atau seting penjajahan yang ada di dalam cerita, kita juga disajikan dengan kegiatan sehari-hari mereka prapenjajahan. Sisi lain dari mereka terlihat sangat harmonis. Mereka sangat kompak dalam melakukan berbagai hal. Tetapi di balik kekompakan itu semua, terdapat sisi feminis yang dapat kita angkat. Dalam melakukan segala kegiatan, sosok perempuan di novel ini memiliki unsur yang dominan di dalam bersikap. Mungkin hal ini disebabkan oleh pengarang perempuan, sehingga sifat-sifat dominan perempuan ditonjolkan.
Tetapi memang pada kenyataan yang ada, kalau kita membaca atau membahas novel lain. Kebanyakan yang memiliki sifat dominan di dalam ceritanya adalah laki-laki, walaupun masih ada segelintir sifat perempuan yang dominan. Tapi tetap saja sifat yang menguasai adalah sifat laki-laki. Kenapa hal ini dapat terjadi, apakah hanya karena masalah gender dan bentuk biologis, sehingga sifat-sifat dominan perempuan tidak bisa dijadikan suatu bahan cerita yang menarik. Selama ini pula kebanyakan sifat dominan perempuan di dalam novel disalah artikan, dengan membuat cerita yang akan menimbulkan pemikiran yang akan mengenyampingkan perempuan. Padahal kalau kita pintar mengemasnya, akan menjadi suatu cerita yang apik dan memiliki unsur kecerdasan yang lebih tinggi, dibandingkan apabila yang diangkat adalah sifat dominan laki-laki.
Kembali lagi ke dalam konteks feminis di novel ini dengan dilihat secara umum. Secara tidak langsung dan tanpa kita sadari apabila kita membaca novel ini, kita akan disuguhi oleh aktivitas yang dilakuaakn oleh perempuan, jarang sekali terlihat kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki. Sekalinya terlihat, pasti selalu diiringi juga oleh kegiatan perempuan. Memang tidak begitu sulit menemukan unsur feminis di dalam novel yang dikarang oleh pengarang perempuan dan mendapat julukan pengarang feminis. Kalau dilihat karya-karya lain dari Nh. Dini, rata-rata yang dibuatnya adalah novel yang berdasar pengalaman hidupnya dan itu tentunya akan memiliki tokoh utamanya ialah dia sendiri. Jadi hampir semua karya yang ditulis Nh. Dini memiliki unsur feminis yang tinggi.

Tidak ada komentar: